Kasus Covid-19 yang merupakan pandemi global jelas menimbulkan kekhawatiran dari beragam kalangan, tak terkecuali masyarakat Indonesia. Kekhawatiran masyarakat semakin sangat terasa dengan melihat lonjakan kasus yang cukup cepat. Segala upaya Pemerintah untuk menekan lonjakan kasus Covid-19 ternyata tidak mencapai sasaran bahkan jauh dari hasil yang diharapkan, terutama agenda upaya penegakan hukumnya. Pertanyaan besarnya, mengapa hukum terkait penanggulangan Covid-19 sulit untuk ditegakkan ?.
Untuk menjawabnya, penulis mencoba memakai pisau analisis untuk mengkajinya dengan teori efektivitas hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman (2009), yang merumuskan bahwa terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum. Ketiga unsur itu, meliputi struktur (tata hukum, tata organisasi, tata peradilan dan tata kelembagaan), substansi (aturan, norma, dan perilaku nyata manusia dalam sistem hukum), budaya hukum (kultur hukum eksternal dan internal terkait budaya hukum masyarakat).
Berbagai peraturan baru (lebih dari seratusan) terkait penanggulangan Covid-19 telah diterbitkan oleh Instansi Yang Berwenang untuk melengkapi hukum yang sudah ada (https://hukumclick.wordpress.com, diakses 22 Oktober 2020), mulai dari Peraturan Pemerintah Pusat termasuk Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 dan terakhir telah terdapat Peraturan Presiden No. 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam rangka penanggulangan Pandemi Covid-19.
Peraturan Menteri, Peraturan Lembaga Pemerintahan dan sampai dengan Pemerintahan Daerah, yang berarti menunjukkan unsur substansi telah terpenuhi, kalaupun ada peraturan yang kontroversial atau menimbulkan pertentangan, antara lain: aturan tentang persidangan virtual di pengadilan yang dianggap melanggar hukum acara, penulis mengingatkan bahwa dalam keadaan pandemi seperti saat ini ada asas universal yang dapat menyelesaikannya, yakni asas Salus Populi Suprema Lex Esto (keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi).
Lalu bagaimana dengan unsur struktur, memang tidak dipungkiri masih banyak oknum dalam lingkaran pimpinan kelembagan hukum dan birokrasi yang tidak memberi teladan bagi masyarakat. Bagaimana tidak ironis, di satu sisi ada perwira polisi di wilayah Mabes Polri yang melakukan pesta megah di tengah pandemi, pemakaman Sekda DKI yang meninggal karena Covid-19 yang dilakukan secara seremonial dan dimakamkan di makam keluarga, Pemerintah dan DPR yang tidak dapat menahan syahwat politiknya.
Sehingga memaksakan tetap melaksanakan pilkada langsung dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dan PKPU No. 6 Tahun 2020 menjadi payung hukum untuk mensukseskan pilkada serentak dan mensahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU pada tanggal 5 Oktober 2020 yang lalu, sehingga keputusan tersebut memicu kumpulan massa secara besar-besaran yang secara otomatis berdampak langsung pada melonjaknya kasus Covid-19 beberapa hari terakhir, yang saat ini telah mencapai sekitar 373.109 kasus (https://covid19.go.id, diakses tanggal 22 Oktober 2020).
padahal di sisi lain masyarakat dilarang berusaha untuk mencari nafkah, berkerumun, bersilaturahmi, melayat dan memakamkan keluarganya, yang bila larangan tersebut dilanggar maka aparat penegak hukum dan aparat pemerintah secara represif memaksa bubar, bahkan seringkali dengan cara yang berlebihan. Intinya belum ada contoh baik yang nyata dan masif dari Pimpinan Kelembagaan negeri ini.
Selain itu, masih terdapat pula masalah-masalah yang komplex terkait sarana dan prasarana pendukung penanggulangan Covid-19, antara lain: belum memadainya aparat penegak hukum baik secara kualitas dan kuantitas di tingkat nasional dan daerah, kurangnya infrastruktur rumah sakit, tenaga kesehatan, dan alat-alat kesehatannya di daerah zona merah dan hitam.
Selanjutnya, apakah budaya hukum masyarakat telah mendukung upaya penegakan hukum terkait Covid-19? Merujuk kepada unsur ketiga dari teori hukum efektivitas Friedman di atas, maka dapat dijelaskan bahwa kedua jenis budaya hukum tersebut saling mempengaruhi. Lawrence M. Friedman (1984) menjelaskan bahwa jika budaya hukum ekternalnya sehat, maka dengan sendirinya budaya hukum internal akan ikut menyesuaikan, karena aparat penegak hukum pada hakikatnya adalah produk dari masyarakatnya sendiri. Budaya hukum yang baik akan berkontribusi membentuk sistem hukum yang sehat, sementara budaya hukum yang tidak baik akan mendorong timbulnya sistem hukum yang sakit.
Sehubungan dengan hal itu faktanya, dengan kalimat sederhana dapat dikatakan bahwa budaya hukum kita sedang sakit, masih belum profesional, cenderung amatiran karena belum terbentuk suatu kesadaran hukum. Kalau berkaitan dengan kasus yang melibatkan rakyat kecil, penanganannya begitu tegas, keras, cepat dan langsung ke pengadilan. Tetapi kalau yang melibatkan orang yang punya pengaruh, uang, dan kekuasaan, penanganannya cenderung ewuh pakewuh, lunak, lambat dan tidak jelas juntrungannya.
Selaku demikian, jika dihubungkan dengan upaya penegakan hukum pada perkara-perkara terkait Covid-19, terlihat nyata ketika orang yang berkuasa seperti pimpinan polri, Sekda DKI, pemerintah, dan DPR melakukan pelanggaran baik secara langsung atau pun tidak, penegakan hukum kepada mereka penuh dengan perdebatan dan basa basi, tetapi ketika rakyat kecil tidak pakai masker, berkerumun untuk mengambil jatah sembako, berjualan di pinggir jalan, merebut mayat keluarga dari RS, melakukan kritik melalui medsos, langsung ditebas dengan pisau hukum sembari mengatakan demi keadilan dan kepentingan umum, hukum harus ditegakkan.
Setelah penulis membedah efektivitas hukum dalam upaya penanggulangan Covid-19 dengan pisau kajian teori hukum Friedman di atas, maka ditemukan takaran yang berisi kesimpulan bahwa penegakan hukumnya belum efektif, karena walaupun berbagai peraturannya sudah relatif baik, tetapi belum didukung oleh kualitas dan kuantitas aparat penegak hukum dan aparat pemerintahan yang memadai, masih kurangnya sarana dan prasarana pendukung, terlebih belum terdapatnya budaya hukum yang sehat di negeri tercinta ini.
Memang kita tidak dapat memungkiri, bahwa begitu besar permasalahan yang sedang dihadapi negara Indonesia di masa pandemi ini, terutama permasalahan penegakan hukum yang tidak efektif sebagaimana diuraikan di atas, namun sebagai anak bangsa janganlah pernah menyerah untuk mencari jalan keluar bagi penyelesaiannya dengan melakukan perbaikan dan pemulihan terhadap keadaan yang menyimpang dari idealnya ketiga unsur penegakan hukum yang efektif dari Friedman di maksud, yang pada gilirannya pelan-pelan tetapi pasti akan memulihkan efektivitas hukum itu sendiri.
Oleh: Ramsen Marpaung, S.H., M.H. (Mahasiswa S3 Hukum Unpar dan Advokat)
___________________________________________________________________________
Referensi: