Signifikansi Peran Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif bagi Eksistensi Sistem Síugle Bay demi Tegaknya Negara Hukum

Lisa Mariana Minta Tes DNA Lagi, Kuasa Hukum RK: Tak Miliki Dasar Hukum
September 8, 2025
Perbandingan Hukum antara Prinsip Habeas Corpus dalam Sistem Hukum Pidana Inggris dengan Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
September 27, 2025

Signifikansi Peran Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif bagi Eksistensi Sistem Síugle Bay demi Tegaknya Negara Hukum

 

Ramsen Marpaung

Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Jalan Merdeka, No. 30 Bandung, Jawa Barat

Email: 9052001006@student.unpar.ac.id atau ramsenmarpaung@yahoo.co.id

 

Naskah diterima: 22 September 2021

Naskah direvisi: 28 April 2022

Naskah diterbitkan: 30 Juni 2022

Abstyact

The split of the advocates’ organizations in Indonesia has damaged the existence of a single bar system for upholding the rule of law because a weak single bar system can no longer guarantee the quality of advocates who could always uphold the principles of the rule of law. To overcome this, the executive, legislative, and judiciary roles must be optimized so that the policies and decisions regarding this issue would not further divide advocates’ organizations. This article examines the significance of the executive, legislative, and judiciary roles in maintaining the existence of a single bar system to uphold the supremacy of law, equality before the law, and human rights. The writing method used is normative juridical with approaches to laws, cases, comparisons, history, and concepts through library studies for secondary data, then analyzed descriptively and qualitatively. As for the discussion, it is known that the single bar system has been tested for its existence throughout the world. Only a single bar system can realize the advocates’ ideals to counsel quality advocates, which means at the same time guaranteeing fair law enforcement. For this reason, and for the achievement of national development goals especially in the field of law, a comprehensive and coordinated role of the executive, legislative, and judiciary is needed to resolve the split of the advocates’ organizations by returning and strengthening the Indonesian advocates’ organizations to a single bar system based on the law on Advocates.

Keywoyds: Executive; legislative; Judiciary; single bar system; the rule of law

 

Abstrak

Kondisi perpecahan organisasi advokat di Indonesia telah merusak eksistensi sistem single bar terhadap tegaknya rule of law karena bangunan sistem single bar yang lemah tidak dapat lagi menjamin kualitas advokat yang selalu mampu menegakkan prinsip-prinsip negara hukum. Untuk mengatasinya peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus lebih dioptimalkan sehingga kebijakan dan keputusan yang ditetapkan tidak lagi berdampak semakin memperuncing perpecahan organisasi advokat. Artikel ini mengkaji signifikansi peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam menjaga eksistensi sistem single bar demi tegaknya supremacy of law, equality before the law, human rights. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan undang- undang, kasus, perbandingan, sejarah, dan konsep melalui studi perpustakaan untuk menemukan data sekunder yang dianalisis secara deskriptif kualitatif. Adapun dari pembahasan diketahui bahwa sistem single bar telah teruji eksistensinya di seluruh dunia. Hanya sistem single bar yang dapat mewujudkan cita-cita advokat untuk membentuk advokat yang berkualitas, yang berarti sekaligus menjamin penegakan hukum yang berkeadilan. Untuk itu, demi terealisasinya tujuan pembangunan nasional, khususnya bidang hukum, maka peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara komprehensif dan terkoordinasi sangat diperlukan dalam upaya menyelesaikan perpecahan organisasi advokat dengan mengembalikan dan memantapkan organisasi advokat Indonesia ke sistem single bar sesuai dengan Undang-Undang Advokat.

Kata kunci: Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, sistem wadah tunggal; negara hukum

 

I.        Pendahuluan

Paradigma organisasi advokat di Indonesia terus berdinamika mengikuti pergolakan dan perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya di tanah air. Pergeseran paradigma cara komunitas advokat berorganisasi, secara signifikan mulai terlihat pada era reformasi sekitar tahun 2000. Ketika itu, tim penggagas dan perancang Rancangan Undang-Undang tentang Advokat (RUU Advokat) yang berasal dari berbagai organisasi advokat berhasil merumuskan RUU Advokat. Pada tanggal

28 September 2000, Presiden Abdurrahman Wahid, lewat surat bernomor R.19/Pu/9/2000, menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Profesi Advokat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pada tanggal 5 April 2003 RUU Advokat disahkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).1

Salah satu aspek mendasar dalam UU Advokat tersebut adalah landasan yuridis terbentuknya organisasi advokat dengan sistem wadah tunggal (single bar association) sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28 ayat (1). Pada saat itu, tepatnya pada tanggal 21 Desember 2004, pimpinan 8 (delapan) organisasi advokat, yakni Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar

 

di beberapa anggota organisasi advokat, karena pembentukannya disinyalir tidak transparan, tidak adil dan tidak akuntabel, yang berarti direalisasikan tanpa menyerap aspirasi anggota advokat secara seimbang.2

Perkembangan selanjutnya, terdapat dua kubu yang saling bersengketa. Satu kubu antara lain: kubu PERADI SOHO yang dipimpin oleh Otto Hasibuan, PERADI SAI yang dipimpin oleh Juniver Girsang, dan PERADI RBA yang dipimpin oleh Luhut M.P. Pangaribuan, mengklaim bahwa sistem single bar sebagai bentuk ideal bagi organisasi advokat. Kubu ini sangat membanggakan dan begitu meyakini bahwa sistem single bar adalah sistem yang dapat menjaga kualitas advokat, yang berarti sekaligus melindungi kepentingan para pencari keadilan. Sistem single bar yang dilaksanakan secara konsisten akan berbanding lurus dengan terjaganya kualitas advokat yang tetap dan selalu mampu menegakan supremacy of law, equality before the law, dan human rights.3

Di lain sisi, kubu yang kedua seperti

Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) yang menyetujui sistem multi bar mengklaim sistem multi bar sebagai ideal system bagi organisasi advokat Indonesia karena dianggap sesuai dengan amanah Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”, yang berarti sekaligus berpandangan bahwa sistem single bar, dalam hal ini pembentukan wadah tunggal PERADI telah

 

Modal (HKHPM), Asosiasi Konsultan Hukum                    

 

Indonesia (AKHI), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) mendeklarasikan terbentuknya satu wadah tunggal organisasi advokat yang bernama Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai perwujudan dari single bar association dan juga merupakan sinyal positif akan bersatunya profesi advokat Indonesia dalam suatu organisasi tunggal profesi advokat. Tetapi, di kemudian hari pembentukan wadah tunggal PERADI menimbulkan polemik

   
   



1    Lusia Sulastri dkk, Merajut Sistem Keorganisasian Advokat di Indonesia, Ponorogo: Gracias logis Kreatif, 2021, 110-115.

 

2    Imam Ghozali dkk, “Transformasi Organisasi Advokat Indonesia dari Single Bar Menjadi Multi Bar (Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PPU-VII/2009 dan Surat Ketua Mahkamah Agung No. 73/KMA/HK.01/ IX/2015)”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 1 (Juni 2018): 73.

3     Hal itu sejalan dengan konsep negara hukum adalah negara yang kekuasaannya dibatasi oleh rule of law. Albert V. Dicey mengintrodusir tiga unsur dari rule of law, yaitu: Supremacy of law; Equality before the law; Human Rights dalam Albert V. Dicey, Introduction to the Study of the law of Consititution, 8th Revised Edition, liberty Fund Inc., 1 Januari 1982, hal. 23., sebagaimana dikutip Arif Setiawan dkk, “Perbandingan Pengaturan Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Advokat (PPA) di Indonesia dan Amerika Serikat”, Arena Hukum, Vol. 10, No. 1 (April 2017): 121.

 

bertentangan dengan Pancasila.4 Kubu kedua ini juga menganggap kondisi awal alamiah (naturally created condition) organisasi advokat di Indonesia menganut multi bar association, yang dapat terlihat dari banyaknya jumlah organisasi advokat yang hadir ke permukaan tanpa identitas yang jelas. Oleh sebab itu solusi dalam mengatasi konflik mengenai wadah tunggal organisasi advokat (single bar association) adalah dengan mengakui bahwa sistem multi bar association atau federation of bar association adalah sistem yang sesuai untuk diaplikasikan di negara Indonesia.5

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa konflik dua kubu di atas soal eksistensi single bar dan multi bar telah menghambat upaya peningkatan kualitas advokat melalui organisasi profesi yang menaunginya, padahal sebagai profesi hukum, advokat harus mengasah terus keahliannya dalam berperkara. Keterampilan teknik menangani perkara bagi advokat dapat diperoleh dari continuing legal education, termasuk melalui keberadaan organisasi advokat yang merupakan sarana belajar bagi advokat untuk mengembangkan karakter sebagai profesional yang berintegritas dan bermoralitas di bidang hukum.6

Mempertahankan   moralitas   profesi

advokat di tengah buramnya sistem peradilan di Indonesia seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Hal itu terkonfirmasi pula dengan banyaknya para penegak hukum yang tertangkap KPK. Setidaknya, sejak KPK berdiri pada 27 Desember 2002 hingga tahun 2018, terdapat 50 penegak hukum yang terlibat praktik korupsi. Dari jumlah itu, terdapat 11 advokat atau sekitar 20 persen dari jumlah penegak hukum yang divonis dan berkekuatan hukum tetap (KPK, 2018). Mereka ternyata tidak hanya membantu klien dalam menyelesaikan permasalahan  hukumnya,  namun  juga

 

4    Ronggur Hutagalung, “Kedudukan Advokat dalam Penyelenggaraan Peradilan dan Masalah Pengawasan Advokat dalam Rangka Mencapai Tujuan Hukum Di Indonesia”, Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, 2016, 333.

5     Ibid., 379.

6    Artidjo Alkostar, Peran dan Tantangan Advokat dalam Era Globalisasi, Yogyakarta: FH UII, 2010, 151.

 

terlibat jauh sebagai broker, bahkan fixer demi memenangkan kliennya.7

Memang harus diakui, kenyataannya saat ini advokat yang merupakan officium nobile sepertinya hanya tinggal masa lalu. Apabila situasi dan kondisi itu dibiarkan terus, maka slogan “officium nobile” tersebut akan menjadi kenangan dan angan-angan belaka. Masalah itu mulai terindikasi sejak terjadinya perpecahan PERADI sebagai wadah tunggal organisasi advokat sampai dengan saat ini. Bahkan sekarang, diperkirakan telah ada sekitar 54 organisasi advokat lain di luar PERADI.8 Persoalan rekrutmen advokat-advokat baru menjadi tidak terkendali karena dengan banyaknya organisasi advokat yang ada maka standarisasi rekrutmen bermacam-macam dan sering berujung pada penyimpangan proses seleksi anggota advokat baru serta semakin menjauh dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Advokat. Sehingga, advokat berpotensi untuk melakukan obstruction of justice (tindakan menghalang- halangi proses peradilan) dalam kasus pidana.9 Hal ini juga berpotensi melakukan tindakan abuse of power (penyalahgunaan wewenang) dengan “main dua kaki” dalam kasus perdata.

   
   



7     Lihat Erwin Natoesmai Oemar, “Kolom: 70 Tahun Todung Mulya lubis”, detiknews. Erwin meyebutkan: bahwa saat ini setidak-tidaknya ada 3 (tiga) kategori advokat, lalu Erwin menjelaskan terkait hal itu, untuk membantu dalam menemukan jawaban cara membagi kategori tersebut, mungkin kita perlu meminjam kajian teraktual peneliti Van Vollenhoven Institute, Universitas leiden, Santy Kouwagam dan Adriaan Bedner. Dalam salah satu tulisannya, mereka membagi tiga tipologi advokat di Indonesia, yaitu profesional, broker, dan fixer. Dalam kajiannya itu, secara implisit tersimpulkan bahwa hanya advokat dalam kategori profesionallah yang masih mempertahankan nilai-nilai advokat dalam menjalani profesi hukum, sedangkan dua kategori lainnya hanya menggunakan jubah advokat sebagai alat mencari profit atau melayani kepentingan klien dengan membabi buta (lawyers in 21st Century Societies, 2019), https://news.detik.com/kolom/d-4611267/70-tahun- todung-mulya-lubis, diakses tanggal 05 Juni 2021.

8    Nur Setia Alam Prawiranegara, “Refleksi Akhir Tahun 2020,

Quo Vadis Advokat Indonesia?”, Akuratnews.com, https:// akuratnews.com/refleksi-akhir-tahun-2020-quo-vadis- advokat-indonesia/, diakses tanggal 18 Maret 2021.

9    Johan Dwi Junianto, “Obstruction of Justice dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Media Iuris, Vol. 2, No. 3 (Oktober 2019): 335-352.

 

Walaupun perbuatan “main dua kaki”, selama ini lebih cenderung dikaitkan sebagai pelanggaran terhadap norma etika yang diatur dalam Kode Etik Profesi Advokat dengan ancaman sanksi yang hanya berupa “tindakan”, yang dilakukan berdasarkan pengaduan terhadap Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.10 Namun, jika situasi dan kondisi seperti itu terus dibiarkan terjadi, maka akan berpengaruh buruk bagi upaya penegakan prinsip-prinsip negara hukum (rule of law) di negeri ini. Karena jika keadilan tak ditegakkan dengan benar, public trust kepada profesi advokat yang notabene bagian dari catur wangsa penegak hukum akan terus terdegradasi. Selanjutnya, kala kepercayaan masyarakat sudah terkikis, maka akan memperbesar potensi gagalnya negara mewujudkan bangunan sistem hukum yang kokoh dan berwibawa.11

Selanjutnya, sebagai akibat perpecahan

organisasi advokat terlihat adanya fenomena organisasi advokat saat ini lebih kepada berlomba-lomba mempunyai anggota sebanyak- banyaknya dengan menurunkan standar seleksi pengujian, kemudian sesegera mungkin mengajukan calon-calon advokat itu untuk disumpah di Pengadilan Tinggi di wilayah hukum masing-masing. Bahkan, apabila ada advokat dalam suatu organisasi advokat yang ditindak karena melanggar kode etik, advokat tersebut tidak perduli karena berpeluang pindah dan diterima dengan baik oleh organisasi advokat lainnya. Memang persoalan yang sengkarut dan ironis.12 Sebagai contoh nyata yang menyita perhatian publik saat ini terkait permasalahan mudahnya seorang advokat berpindah organisasi advokat ketika advokat tersebut diduga melakukan pelanggaran kode etik dan

 

Hutapea yang pindah dari PERADI SOHO ke Dewan Pengacara Nasional (DPN) Indonesia.13 Perpecahan organisasi advokat di Indonesia telah terjadi dan berbagai elemen bangsa telah mencoba melakukan upaya untuk menemukan solusi terbaik, termasuk membuat kajian ilmiah terkait persoalan tersebut. Beberapa tulisan pernah membahas tentang wadah tunggal organisasi       advokat                   dan  peran            pemerintah dalam mengatasi                 perpecahan            organisasi advokat di Indonesia. Tulisan tersebut, antara lain dari Samuel Saut Martua Samosir yang membahas                        tentang                “Organisasi Advokat dan Urgensi Peran Pemerintah dalam Profesi Advokat”.                          Kajian          tersebut menganalisis konsep organisasi advokat tanpa menggunakan pendekatan ejarah dan perbandingan dan sifatnya lebih mendeskripsikan alasan-alasan yang        memperbolehkan          pemerintah ikut campur berperan menyelesaikan perpecahan organisasi advokat tanpa merinci peran konkrit pemerintah tersebut secara detail.14 Kemudian tulisan dari Sudarmono tentang “Makna Wadah Tunggal Organisasi Profesi Advokat Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat”. Tulisan ini membahas sistem single bar dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan konsep tanpa menguraikan posisi pemerintah  dalam menjaga eksistensi wadah tunggal organisasi advokat.15 Jadi terlihat sebagian besar tulisan terkait pemahamanan konsep wadah tunggal organisasi advokat, lebih menganalisis bunyi pasal UU Advokat dan lebih membahas secara teori terkait peran pemerintah terhadap           eksistensi                                       organisasi           advokat. Sedangkan artikel ini melakukan kajian lebih lanjut dan lebih mendalam dengan perpaduan

 

sedang dilakukan sidang kode etik, antara lain                   

 

kasus yang dialami oleh advokat Hotman Paris

 

   
   



10 Prianter Jaya Hairi, “Kebijakan Kriminalisasi Perbuatan Curang oleh Advokat dalam RUU KUHP”, Negara Hukum, Vol. 11, No. 2 (November 2020): 155-156.

11 Syafruddin Muhtamar, “Kegagalan Sistem Hukum Indonesia (Kajian Atas Keterpurukan Substansial dan Pragmatis Hukum Nasional)”, Prosiding SISITI, Vol. IV, No. 1 (Februari 2015): 214-223.

12  Imam Ghozali dkk, op.cit., 79.

 

13 Dian Septina, “Keluar dari Peradi, Hotman Paris Gabung dengan Organisasi Advokat lain”, Kompas TV, https://www. kompas.tv/article/280395/keluar-dari-peradi-hotman-  paris-gabung-dengan-organisasi-advokat-lain?page=all, diakses tanggal 22 April 2022.

14 Samosir, Samuel Saut Martua. “Organisasi Advokat dan Urgensi Peran Pemerintah dalam Profesi Advokat”. Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 3 (2017).

15 Sudarmono. “Makna Wadah Tunggal Organisasi Profesi Advokat Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat”. Jurnal Esensi Hukum, Vol. 2, No. 1 (Juni 2020).

 

pendekatan termasuk pendekatan kasus, sejarah, dan perbandingan terkait signifikansi peran pemerintah dalam arti luas (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang diuraikan secara detail dan rinci (lebih konkrit) dalam menjaga eksistensi sistem single bar demi menegakkkan prinsip-prinsip negara hukum (rule of law) di Indonesia.

Bertolak dari penjelasan latar belakang permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas, maka diperlukan suatu rekonstruksi sistem organisasi advokat, sehingga kualitas, pertanggungjawaban, dan martabat profesi advokat yang mulia (officium nobile) dapat dipertahankan. Oleh karena itu, secara umum setidaknya ada dua isu utama yang diteliti dalam penelitian ini, yakni: Pertama, terkait eksistensi sistem single bar terhadap tegaknya rule of law dan menelusuri bagaimana sistem single bar yang dilaksanakan secara konsisten dapat berbanding lurus dengan terjaganya kualitas advokat yang tetap dan selalu mampu menegakkan supremacy of law, equality before the law dan human rights. Kedua, tentang signifikansi peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam menyelesaikan perpecahan organisasi advokat demi kepentingan anggota advokat sendiri, terutama kepentingan para pencari keadilan. Secara akademis, diharapkan artikel ini berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan bidang hukum khususnya hukum terkait organisasi advokat dan peran pemerintah dalam arti luas terhadap terciptanya kesatuan organisasi advokat. Secara praktis, artikel ini diharapkan dapat berguna untuk menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan mengenai pembentukan RUU Advokat.

II. Metode Penulisan

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif atau penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan

 

untuk dapat menjawab permasalahan yang dikemukakan pada bagian sebelumnya, maka penelitian yuridis normatif ini meliputi perpaduan pendekatan, yakni perpaduan antara statute approach (pendekatan undang- undang), concept approach (pendekatan konsep), comparative approach (pendekatan perbandingan), historical approach (pendekatan sejarah), dan case approach (pendekatan kasus).17 Data sekunder yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan eksistensi advokat dan organisasi advokat, antara lain: UU Advokat dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/ HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 tentang Penyumpahan Advokat. Sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh dari ulasan atau komentar para pakar yang terdapat dalam buku, jurnal, disertasi, termasuk bahan yang dapat diakses melalui internet. Selanjutnya, data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif.

III.  Konsep Wadah Tunggal Organisasi Advokat dalam UU Advokat

Secara filosofis, kehadiran organisasi merupakan suatu kebutuhan mendasar dari manusia sebagai mahkluk sosial karena secara kodrati manusia tidak bisa hidup sendiri, dan harus hidup secara berkelompok. Dari kehidupan secara sosial dan berkelompok inilah, manusia mempunyai tujuan yang bisa dilakukan secara bersama-sama dengan melalui sebuah wadah atau organisasi. Di organisasi inilah dirumuskan mengenai ideologi, visi misi, tujuan, target dan program kerja agar organisasi bisa berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan bersama.18 Tak terkecuali komunitas advokat dalam menjalankan tugas profesinya demi

 

dengan meneliti bahan-bahan perpustakaan                     

 

atau data sekunder   saja.16   Karena   itu,

   
   



16 Kornelius Benuf dan Muhamad Azhar, “Metodologi Peneltian Hukum sebagai Instrumen Mengurangi Permasalahan Hukum Kontemporer”, Jurnal Gema Keadilan, Vol. 7, Edisi 1 (Juni 2020): 26.

 

17 Suteki dan Galang Taufani, Metode Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik), Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2018, 157.

18 Bambang Aryanto, “Tinjauan Yuridis Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan”, Perspektif Hukum, Vol. 15, No. 2 (November 2015): 132.

 

tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Dengan tercapainya keadilan di masyarakat akan serta merta juga secara berkesinambungan tentunya sangat berkaitan dengan pembangunan nasional di bidang hukum. Dalam konteks ini, maka perlu dilakukan pembentukan dan pengembangan organisasi advokat sebagai wadah dari para advokat diupayakan mampu menjaga para advokat yang ikut di dalamya untuk tetap pada koridor profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam melakukan profesinya untuk menegakkan keadilan demi terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya.19 Namun, pendirian suatu organisasi, termasuk organisasi advokat haruslah tetap dilakukan sesuai prosedur yang berdasarkan hukum.

Sehubungan  dengan  landasan  hukum

dalam membentuk suatu organisasi tersebut, sesungguhnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) telah mengamanahkan dan memberikan perlindungan yang mendasar terhadap kebebasan dalam membentuk suatu organisasi, tak terkecuali organisasi advokat. Pasca reformasi, melalui Perubahan Kedua UUD Tahun 1945 pada tahun 2000, jaminan konstitusional terhadap kemerdekaan berkumpul tegas ditentukan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian, berarti UUD Tahun 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression), tidak hanya bagi setiap warga negara Indonesia, tetapi juga bagi setiap

 

Ketentuan sebagaimana di maksud di atas, ternyata juga sejalan dengan apa yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR), masing-masing merumuskan bahwa hak berkumpul dan berserikat tersebut haruslah yang bersifat damai, dengan menyebut bahwa “the right to freedom of peaceful assembly and association”, dan “the right of peaceful assembly”. Hal demikian haruslah diartikan bahwa hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul yang dihormati, dijamin dan dilindungi oleh hukum dan konstitusi, haruslah kebebasan berserikat yang bertujuan dan berlangsung secara damai. Kebebasan berkumpul dan berserikat yang menjadi unsur yang sangat esensial dalam suatu masyarakat yang demokratis, dan yang berkaitan erat dengan kebebasan menyampaikan pendapat dan pikiran, adalah untuk memajukan dan menyejahterakan masyarakat.21

Terkait dengan aturan kebebasan berserikat

dan berkumpul juga terdapat dalam Undang- Undang   Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 24 ayat (2), yang menyatakan: “Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan Partai Politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Kebebasan untuk berkumpul sebagaimana diatur dan dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) serta diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan lain, yang dengan tegas memperbolehkan setiap individu ataupun kelompok untuk berhubungan baik dalam hal politik maupun non politik. Hal

 

orang yang artinya termasuk juga orang asing                  

 

yang berada di Indonesia.20

   
   



19  Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

20  Jimly  Asshiddiqie,   “Mengatur  Kebebasan   Berserikat Dalam Undang-Undang”, http://www.jimlyschool.com/read/

 

analisis/274/mengaturkebebasan-berserikat-dalam-undang- undang/, diakses tanggal 12 Oktober 2015.

21 Maruarar Siahaan, ”Kebebasan Berserikat dan Berkumpul Secara Damai Serta Implikasinya”, http://www.leimena.org/ en/page/v/532/kebebasan-berserikat-dan-berkumpul-secara- damai-serta-implikasinya, diakses tanggal 13 Oktober 2015.

 

ini mengindikasikan bahwa setiap individu memiliki kebebasan dalam berserikat. Secara teori, soal kemerdekaan berserikat dan berkumpul tersebut menjadi pemikiran Raja Adil Siregar, yang mengemukakan bahwa dalam kebebasan berserikat dan berkumpul terdapat dua macam hak yang berbeda dan tidak dapat dipisahkan, yaitu:22

  1.       Hak kemerdekaan berserikat kemerdekaan berserikat yaitu hak manusia untuk menyatukan diri dengan sesama manusia untuk waktu panjang guna mencapai sesuatu maksud;
  2.       Hak Kemerdekaan berkumpul yaitu hak manusia untuk membicarakan bersama sesuatu persoalan.

Selanjutnya, secara lebih spesifik hal tersebut dijelaskan secara konkrit oleh Nia Kania Winayanti bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul dalam bentuk organisasi kemasyarakatan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:23

  1.       Organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam satu bidang kekhususan. Organisasi kemasyarakatan yang termasuk dalam kelompok ini adalah organisasi profesi, seperti Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dan lain-lain;
  2.       Organisasi kemasyarakatan yang bergerak dan/atau mempunyai kegiatan bidang kemasyarakatan lebih dari satu kekhususan, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), dan lain-lain. Dalam praktiknya organisasi keagamaan/dakwah juga bergerak dalam bidang kemasyarakatan lainnya seperti
   
   



22 Raja Adil Siregar, “Tinjauan Yuridis Terhadap Kebebasan Berserikat, Berkumpul Dan Mengeluarkan Pendapat Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan”, JOM Fakultas Hukum, Vol. 2, No. 2 (2015): 6.

23 Nia Kania Winayanti, Dasar Hukum Pendirian dan Pembubaran ORMAS (Organisasi Kemasyarakatan), Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011, 16.

 

pendidikan, kesehatan dan persoalan- persoalan sosial lainnya.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa organisasi advokat adalah organisasi profesi yang merupakan salah satu bentuk dari kelompok organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam satu bidang kekhususan sebagaimana tersebut di atas. Organisasi advokat sebagai wadah dari para advokat diupayakan mampu menjaga para advokat yang ikut didalamya untuk tetap pada koridor profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dengan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan khususnya di bidang hukum, demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Sebenarnya, sejak diberlakukannya UU

Advokat pada tanggal 5 April 2003, eksistensi advokat Indonesia menjadi semakin kuat, karena UU Advokat memberikan kewenangan kepada organisasi advokat sepenuhnya untuk melakukan pengangkatan advokat yang syarat dan ketentuannya diatur di dalam UU Advokat. Maka guna meningkatkan kualitas organisasi profesi Advokat dan untuk memudahkan pengawasan (controling) terhadap para advokat Indonesia, advokat harus bersatu dalam satu organisasi profesi advokat sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. Pasal tersebut menyebutkan bahwa: “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang- undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas Advokat.”

Merujuk Pasal 28 ayat (1) UU Advokat

sebagai dasar hukum didirikannya wadah tunggal profesi advokat yang bernama PERADI pada tanggal 21 Desember 2004, maka pembentukan PERADI merupakan perwujudan dari single bar association dan berimplikasi akan bersatunya profesi advokat Indonesia dalam suatu wadah organisasi profesi advokat satu-satunya, sehingga diharapkan organisasi advokat menjadi solid dan dapat berkiprah meningkatkan kualitas advokat, menertibkan pelanggaran kode etik profesi advokat dan

 

melakukan pemberantasan korupsi yudisial (judicial corruption).24 Organisasi tunggal seperti yang di maksud dalam Pasal 28 ayat

(1) UU Advokat memiliki keunggulan karena ambiguitas dalam penegakan kode etik profesi dapat dihindari.

Secara filosofis dan historis, sehubungan latar belakang dan nilai di balik Pasal 28 ayat

(1) di atas, yang tercatat dalam risalah rapat pembentukan UU Advokat, ditemukan ratio legis atau alasan hukum pembentukan Pasal 28 ayat (1) tersebut, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:25

Pertama, dalam upaya memperoleh konsesi secara hukum. Ketentuan ini memposisikan advokat dewasa ini telah terlembaga dan bisa disejajarkan dengan aparat penegak hukum lainnya, sehingga advokat bisa membentuk kode etik profesinya sekaligus membentuk dewan kehormatan advokat yang mandiri.

Kedua, dalam upaya mengawal dan merawat profesionalisme dan integritas moral advokat. Melalui fungsi pendidikan, wadah profesi advokat dibentuk sebagai arena untuk meningkatkan kualitas profesi, sehingga organisasi advokat dapat menjadi penyeimbang yang sejajar terhadap lembaga penegak hukum lainnya.

Ketiga, dalam upaya memadukan berbagai organisasi advokat yang telah lahir sebelum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat diundangkan, dengan menyatakan bahwa organisasi advokat adalah sebagai wadah tunggal. Keunggulan dari wadah tunggal ini adalah untuk mempermudah fungsi pengawasan, penindakan, dan pengangkatan yang sekarang dilakukan oleh organisasi advokat sendiri karena sudah terlembaga secara konstitusional.

Jadi jelas terlihat, sejak saat perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangannya, secara tegas Undang- Undang Advokat mengamanatkan dibentuknya single bar association atau wadah tunggal bagi

   
   



 

organisasi advokat yang merupakan satu- satunya organisasi bagi advokat yang bebas dan mandiri baik dari intervensi pemerintah dan pihak mana pun. Pembentukan organisasi tunggal profesi advokat merupakan proses yang panjang, keseriusan yang ditunjukan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang dibentuk pada tanggal 23 Mei 2002. Selanjutnya, dengan mencermati Pasal 32 ayat

(4) UU Advokat yang menyebutkan: “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk”, maka pembentukan organisasi advokat tidak boleh melebihi jangka waktu yang telah disebutkan dalam Pasal 32 ayat (4), yaitu tidak boleh lebih dari 2 (dua) tahun dari tanggal sejak Undang-Undang Advokat diberlakukan atau selambat-lambatnya pada tanggal 5 April 2005 sudah terbentuk satu organisasi advokat yang dibentuk berdasarkan UU Advokat.26

Untuk mewujudkan perintah Pasal 28 dan ayat (1) dan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat sebagaimana tersebut di atas, yangmenginginkan hanya ada satu wadah tunggal bagi profesi Advokat Indonesia. Akhirnya pada tanggal 21 Desember 2004 ke-8 (delapan) organisasi advokat yang sudah ada sebelum UU Advokat secara bersama-sama membentuk organisasi advokat melalui Deklarasi pendirian PERADI. Selanjutnya, pada tanggal 7 April 2005 PERADI akhirnya resmi dibentuk dan diumumkan pada masyarakat. Dengan diresmikannya PERADI, maka PERADI memiliki kewenangan pembinaan dan pengawasan terhadap profesi Advokat. Sedangkan satu-satunya yang tidak menjadi kewenangan oerganisasi advokat dalam regulasi tersebut adalah melakukan pengangkatan sumpah Advokat yang memang menjadi kewenangan Pengadilan Tinggi di bawah koordinasi Mahkamah Agung.

Sebelum menganalisa lebih lanjut tentang

perbedaan pandangan soal pembentukan sistem organisasi advokat mana  yang paling

 

24  Lusia Sulastri dkk, op. cit., 327.                                                      

 

25 Muhammad Fajar Sidiq Widodo dkk, “Kedudukan Organisasi Advokat sebagai Wadah Tunggal Profesi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 3, No. 2 (2018): 152.

 

26 Sudarmono, “Makna Wadah Tunggal Organisasi Profesi Advokat Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat”, Jurnal Esensi Hukum, Vol. 2, No. 1 (Juni 2020): 67.

 

sesuai dengan UU Advokat, peneliti merasa berkepentingan dan mengakui bahwa sampai saat ini pun pemerintah juga telah mengatur pembentukan organisasi secara lebih mendalam dan supaya sejalan dengan Pancasila dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri yaitu sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang. Yang dalam konsiderannya, menimbang bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, setiap orang wajib menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain dalam rangka tertib hukum serta menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.27

Berdasarkan  uraian  di  atas,  terkait

hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana diamanahkan dan diatur oleh UUD Tahun 1945, berbagai peraturan perundang- undangan terkait di atas, teori dan konsep yang telah dirinci tersebut dan sehubungan dengan eksistensi organisasi advokat sebagai perwujudannya, maka seyogyanya penafsiran dan pemahamannya dilakukan secara tepat dan utuh oleh pihak yang pro sistem multi bar. Walaupun memang harus diakui, hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, termasuk kebebasan mendirikan organisasi advokat dihormati di Indonesia, karena hak kebebasan berserikat di Indonesia menjadi salah satu bentuk ciri khas yang dimiliki oleh negara yang menganut sistem pemerintahan negara demokrasi. Namun, hak kebebasan berserikat dalam sistem demokrasi tersebut harus pula menghormati

   
   



27 Konsideran huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun

 

hak kebebasan berserikat pihak lain. Oleh karena itu, kebebasan di maksud harus dibatasi dan diatur oleh undang-undang dan harus bertujuan demi kemajuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pasal 28J  ayat (1) dan

(2) UUD Tahun 1945, yang menyebutkan bahwa: “(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata- mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Jadi, setiap individu memiliki hak masing-

masing dalam menentukan pilihan jalan hidupnya dan negara wajib melindunginya sepanjang tidak bertentangan dengan koridor undang-undang yang berlaku, akan tetapi kebebasan berserikat tersebut tidak secara mutlak diberikan. Kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan yang ditetapkan dalam undang- undang. Oleh karena itu, regulasi berserikat yang dalam hal ini adalah keberserikatan organisasi advokat haruslah tunduk pada undang-undang yang mengaturnya sehingga kemaslahatan umum berupa kesejahteraan masyarakat, terutama kepentingan para pencari keadilan di negara hukum demokrasi dapat terwujud. Hal ini ditegaskan pula oleh Simorangkir, yang memberi pengertian bahwa negara hukum Indonesia bukanlah konsep negara hukum dalam pengertian formal, melainkan negara hukum dalam arti materil, yang di dalamnya tercakup pengertian bahwa negara tidak hanya melindungi segenap bangsa Indonesia, tetapi juga memiliki kewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.28

 

2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17                          

 

Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang.

 

28  J.C.T. Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1983, 189.

 

Perjalanan panjang dan penuh dinamika menuju wadah tunggal organisasi profesi advokat ternyata tidak berjalan seperti apa yang diamanahkan UU Advokat. Kedudukan hukum organisasi advokat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XII/2014 dan 36/ PUU-XIII/2015 serta SKMA Nomor 73/KMA/ HK.01/IX/2015 menunjukkan bahwa secara de facto organisasi advokat direpresentasikan dalam model multi bar oleh PERADI dan Kongres Advokat Indonesia (KAI) serta banyaknya organisasi advokat baru, sedangkan secara de jure merepresentasikan model single bar oleh Perhimpunan Organisasi Advokat (dalam hal ini oleh PERADI).

  1.   Pengaruh Sistem Síugle Bay Terhadap Tegaknya Rule oJ law dalam Konteks Negara Hukum Pancasila Dipergunakannya  teori   negara   hukum

sebagai landasan teoritik dalam konteks menganalisis isu hukum yang diajukan dalam tulisan ini, karena dalam menelusuri pengaruh sistem single bar terhadap terjaganya kualitas advokat yang tetap dan selalu mampu menegakkan supremacy of law, equality before the law dan human rights tidak dapat dipisahkan atau dilepaskan dari prinsip-prinsip negara hukum. Secara esensial prinsip-prinsip negara hukum, baik berasal dari konsepsi Rechtsstaat maupun konsepsi Rule of law, meliputi: asas legalitas, asas kepastian hukum, asas persamaan di hadapan hukum, prinsip perlindungan dan jaminan (Hak Asasi Manusia) HAM, adanya pembatasan kekuasaan berdasarkan Undang-Undang Dasar (dalam hal ini di Indonesia berdasarkan UUD Tahun 1945), serta prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak.29 Hakekat negara hukum sesungguhnya berkenaan dengan ide tentang supremasi hukum yang disandingkan dengan ide kedaulatan rakyat yang melahirkan konsep demokrasi.30

   
   



29 H. Ach. Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi: Perspektif Filosofis, Teoritis, dan Yuridis, Yogyakarta: laksbang Pressindo, 2017, 33-34.

30 Jimly Assiddiqie, Konstitusi Sebagai landasan Indonesia Baru Yang Demokratis (Pokok-Pokok Pikiran tentang Perimbangan Kekuasaan Eksekutif dan legislatif Dalam Rangka Perubahan

 

Jika teori negara hukum “Rechstsstaat” pada umumnya berkembang di negara-negara Eropa Kontinental, sebaliknya teori negara hukum Rule of law berkembang di negara-negara Anglo Saxon. A. V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting “Rule of law”, yaitu: a. Supremacy of law; b. Equality before the law; c. The Constitution based on Individual Right.31 Senada dengan pendapat A. V. Dicey, Ivor Jhenning menyebut unsur-unsur “Rule of law” sebagai berikut: the absolut supremacy or predominance of regular law; equality before the law; constitution is the result of the ordinary law of the land.32

Selanjutnya, berkaitan dengan konsep Negara Hukum Indonesia, Sri Soemantri merumuskan unsur-unsur yang terkandung dalam Negara Hukum Pancasila adalah:33

  1.       Adanya pengakuan terhadap jaminan hak asasi manusia dan warga negara;
  2.       Adanya pembagian kekuasaan;
  3.       Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;
  4.       Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.

Dalam perubahan UUD Tahun 1945, mengenai konsep Negara Hukum Indonesia diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dengan rumusan berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Diketahui bahwa ketentuan tersebut berasal dan diangkat dari Penjelasan UUD Tahun 1945 sebelum perubahan. Berkaitan dengan rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (3) di atas, Moh. Mahfud MD menjabarkan, bahwa konsepsi negara hukum yang dulu dikesankan menganut konsepsi rechtsstaat dinetralkan menjadi negara hukum saja, tanpa label rechtsstaat. Dengan demikian konsep negara hukum yang dianut

   
   



Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1999, 146-147.

31 Jimly Assiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, 148.

32  H. Ach. Rubaie, op. cit., 25.

33 Sri Soemantri, Perlindungan Hukum Melalui Perlindungan Hak Asasi, Surabaya: Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, 1992, 3.

 

UUD Tahun 1945 diperoleh baik dari rechtsstaat maupun rule of law, bahkan sistem hukum lain menyatu (integratif) dan implementasinya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan. Konsep negara hukum Indonesia menerima prinsip kepastian hukum yang menjadi hal utama dalam konsepsi rechsstaat, sekaligus menerima prinsip rasa keadilan yang menjadi hal utama dalam konsep rule of law. Bahkan, negara hukum Indonesia juga menerima nilai spiritual dari hukum agama.34

Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagaimana diuraikan di atas, maka peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, selain lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesinya harus berdasarkan keahlian dan kode etik profesi demi membela kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamentalnya di depan hukum. Profesi advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.35 Oleh karena itu, peran advokat dalam usahanya untuk mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak dapat diabaikan atau dikesampingkan, bahkan advokat yang memiliki standar keahlian berkualitas tinggi dalam menjalankan profesinya, seyogyanya mendapat penghormatan.36

Untuk membentuk advokat berkualitas

tinggi itulah diperlukan sebuah sistem  yang mumpuni. Pembentukan advokat itu, sebagaimana  amanat  UU  Advokat,  tentu

   
   



34 Moh. Mahfud MD, “Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Makalah, Dialog dengan Asosiasi Dosen Pengajar HTN/HAN se-Jawa Timur, Fakultas

 

diberikan kepada organisasi advokat. Peranan besar organisasi advokat sangat berpengaruh untuk melahirkan advokat yang memiliki jiwa- jiwa “nobile”. Terdegradasinya idealisme dalam melakukan pekerjaan tidak bisa dianggap sebagai hal sepele, apalagi menyangkut soal keadilan. Dari sana maka pentingnya organisasi advokat yang kredibel juga tak bisa dipandang sebelah mata. Karena organisasi advokat itulah penentu bagaimana advokat menjadi yang “terhormat” atau tidak. Maka dari itu, memiliki sebuah organisasi advokat yang kuat dan kredibel tentu merupakan keharusan. Hanya melalui organisasi advokat yang kokoh dapat diciptakan manajemen rekrutmen advokat yang tersistem dengan baik.

Otto Hasibuan mengatakan bahwa untuk

menjaring calon advokat yang berdedikasi dan menjaga serta meningkatkan kualitas profesi advokat yang lebih baik, maka rekrutmen advokat tentu harus bersifat sentralistik, yang berarti untuk mewujudkannya maka organisasi advokat harus bersistem single bar. Dari situlah “single bar” terbukti sebagai bentuk organisasi advokat yang ideal karena tujuan utama single bar bukan semata untuk kepentingan organisasi, tetapi juga untuk tegaknya prinsip- prinsip negara hukum (rule of law), termasuk memastikan terjaminnya sistem peradilan yang jujur dan fair.37

Dengan adanya organisasi tunggal profesi advokat, rekrutmen calon advokat dapat dilaksanakan secara independen, transparan, akuntabel dan profesional dengan menerapkan faktor kognitif dan psikomotorik (kecerdasan intelektual dan penguasaan hukum) dan faktor efektif (integritas dan komitmen yang kuat terhadap penegakan hukum dan keadilan) secara seimbang. Organisasi tunggal profesi advokat juga diharapkan dapat mengadakan suatu pendidikan profesi advokat yang bermutu dan tepat, sehingga menghasilkan advokat- advokat  yang  handal.38  Dengan  produk

 

Hukum Dr. Soetomo Surabaya, 18 Oktober 2008, 13-14.                    

 

35 Jeffrey Pinsler, Ethics and Professional Responsibility, A Code For Advocate and Solicitor, Singapore: Academy Publising, 2007, 49.

36 Yahman dkk, Peran Advokat dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Prenadamedia Group, 2019, 60.

 

37 As’ad Syamsul Abidin, “Demi Tegaknya Rule Of Law, “Single Bar Is A Must!”, https://aktual.com/demi-tegaknya- rule-of-law-single-bar-is-a-must/, diakses tanggal 25 April 2022.

38  Sudarmono, op.cit., 74.

 

advokat yang handal dan mampu mengikuti pertumbuhan era disrupsi teknologi, diharapkan perkembangan dunia hukum terus semakin maju dan selanjutnya ikut berperanserta dalam upaya mewujudkan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD Tahun 1945.

Pengertian single bar itu adalah mengenai fungsi yang satu. Bukan wadahnya yang satu. Wadahnya boleh banyak. The Japan Federation of Bar Association (JFBA) bisa dijadikan contoh. Di sana organisasi advokat bentuknya federasi. Tapi sejatinya mereka tetap single bar. Walau ada the Daini Tokyo Bar, Osaka Bar, dan lainnya, namun kewenangan pengangkatan advokat tetap berada pada JFBA. Belanda juga menganut model single bar. NOVA sebagai wadah tunggal advokat di sana. Menelisik pengalaman berbagai organisasi advokat di dunia, seperti America Bar Association (ABA) yang berdiri tahun 1888, Korean Bar Association (KBA) tahun 1952, The Japan Federation of Bar Association (JFBA) tahun 1950, law Council of Australia (LCA) tahun 1963 dan Bar Council of India (BCI) sekitar tahun 1961, ternyata sistem single bar telah diuji dan teruji di negara-negara tersebut, pernah mengalami sistem multi bar, tetapi belakangan kembali lagi ke sistem single bar karena hanya sistem single bar yang dapat mewujudkan cita-cita advokat untuk membentuk advokat yang berkualitas. Lester G. Huang selaku Presiden LAWASIA mendukung hal itu, dengan menyatakan bahwa sebuah asosiasi profesi, yang bersifat tunggal dan nasional, khususnya di negara berkembang, mempunyai berbagai keunggulan, antara lain adanya transparansi bagi klien, penegakan disiplin dan pengawasan yang menyatu, dan sistem keuangan organisasi yang mandiri.39

Pendapat serupa juga ditegaskan oleh

Akira Kawamura, Presiden Internasional Bar Association (IBA) ketika menjadi saksi ahli di

 

adalah yang terbaik. Tapi syaratnya tetap harus independen. Karena kala tak independen, tidak akan tegak rule of law. Sebab single bar terbukti sukses untuk membuktikan independensi advokat di sejumlah negara. Tak ada aturan hukum tanpa profesi hukum yang independen. Sebagai ahli Kawamura juga menyimpulkan bahwa profesi hukum harus memiliki asosiasi pengacara nasional tunggal dengan keanggotaan wajib, dengan mengutamakan perlindungan independensi profesi hukum dan menciptakan aturan profesional tunggal yang dapat diterapkan secara holistik terhadap advokat di negara yang bersangkutan.40

PERADI sejak berdiri, telah menjelma jadi

single bar. Tapi sepanjang terbentuknya memang banyak dinamika. Ini tak bisa dihindari. Namun single bar selama ini, terbukti mampu menjaga marwah dan martabat advokat. Itu baru satu langkah menuju reformasi hukum yang dicita- citakan.41 Tapi dalam perjalanan, ironis jika kemudian harus mundur ke belakang, maka perselisihan antara organisasi advokat harus segeradiatasi,terutamadengandikembalikannya sistem single bar, demi kehormatan advokat itu sendiri dan demi perlindungan hukum bagi masyarakat secara komprehensif.

Dengan demikian, dapat dikatakan jika sistem single bar merupakan sistem terbaik yang telah teruji dan terbukti secara international tersebut dilaksanakan secara konsisten, maka akan berbanding lurus dengan terjaganya kualitas advokat yang mumpuni. Selanjutnya, sudah dapat dipastikan bahwa para advokat yang berintegritas dan bermoralitas ini akan tetap dan selalu mampu menegakkan negara hukum Pancasila. Akhirnya, secara lebih konkrit advokat handal dilahirkan melalui organisasi advokat dengan sistem terbaik dan advokat handal diyakini akan mampu berkontribusi dalam proses reformasi hukum yang terpadu dan berkelanjutan dengan program, yakni:42

 

Mahkamah   Konstitusi  Republik   Indonesia.                       

 

Dari 137 negara di dunia ini, model single bar

   
   



39 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010 perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

 

40  Ibid.

41 Otto Hasibuan, “Quo Vadis Advokat Indonesia”, Makalah, Talk Show The Best lawyers Club Indonesia, Bandung, 09 April 2021.

42 Luhut M. P. Pangaribuan, Pengadilan, Hakim, dan Advokat, Catatan Hukum luhut M. P. Pangaribuan, Jakarta: Pustaka

 

  1.       Memastikan selalu ada sistem dan mekanisme pengawasan bahwa pemerintah senantiasa harus tunduk pada hukum sama seperti warganegara (government subject to law);
  2.       Memastikan adanya penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia;
  3.       Memastikan adanya kemandirian kekuasaan kehakiman (independence of judiciary).

V.  Signifikansi Peran Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif untuk Menyelesaikan Perpecahan Organisasi Advokat

Untuk menyelesaikan perpecahan di kalangan organisasi advokat, yang sekaligus berarti menjamin tegaknya prinsip-prinsip rule of law di negara Indonesia, maka perlu segera dilakukan tiga langkah besar sebagai berikut:

A. Secara Internal

Seluruh organisasi advokat, yang pada saat ini diperkirakan telah ada sekitar 54 organisasi advokat43 agar melakukan Musyawarah Nasional (MUNAS) untuk membentuk wadah tunggal advokat dengan memilih Ketua Umumnya. Apabila sulit dilakukan segera, maka setidak- tidaknya diawali oleh PERADI selaku wadah tunggal pertama saat mulai berlakunya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Setelah 3 (tiga) PERADI bersatu, selanjutnya melobi dan mengkoordinir organisasi advokat lainnya untuk bersatu membentuk wadah tunggal, dengan pemilihan Ketum Umum yang baru dengan nama organisasi advokat yang baru pula, dengan sistem satu anggota satu suara (one men one vote).

Seandainya wadah tunggal sebagaimana

diamanatkan sistem single bar secara murni tidak dapat dilakukan, maka paling tidak seluruh organisasi advokat harus membentuk satu Dewan Kehormatan Profesi Advokat dengan satu Kode Etik Advokat Bersama, satu Dewan Pengawasan dan satu Tim Rekrutmen Calon Advokat yang digunakan untuk kepentingan

   
   



Kemang, 2016, 494.

43  Nur Setia Alam Prawiranegara, op. cit.

 

bersama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa organisasi advokat menggunakan sistem multi bar association, tetapi dewan kehormatan dan kode etik, dewan pengawasan, dan rekrutmennya tetap single bar association.44

Demi kepentingan pembangunan hukum nasional, terlebih kepentingan para pencari keadilan, organisasi advokat Indonesia harus bersatu, banyaknya isme organisasi advokat harus cepat disatukan. Jika semuanya teratasi dan berjalan lancar maka advokat dapat berperan maksimal dalam reformasi hukum di Indonesia. Kalau tidak, organisasi advokat ini akan menjadi sebuah antitesis. Untuk itu, para pemimpin organisasi advokat harus berjiwa besar dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara dengan melepaskan ego masing-masing dan bersatu dalam organisasi profesi advokat tunggal, kuat dan berintegritas, sehingga akan terwujud harapan masyarakat agar advokat berperan sebagai the guardian of the constitution demi pencapaian negara hukum (rule of law) yang kuat.45

B. Secara Eksternal

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, di mana diperlukan satu wadah baru yang memiliki kewenangan penuh dan mutlak yang digunakan untuk kepentingan bersama berbagai organisasi advokat dan berkaca pada kenyataan jika diserahkan secara keseluruhan pembentukan tersebut, akan kembali menimbulkan perebutan siapa yang berhak untuk membentuk wadah tersebut, maka disinilah peran pemerintah sebagai penengah dalam artian bahwa dalam pembentukan wadah tersebut dibentuk oleh pemerintah, namun dalam kepengurusannya tetap diserahkan kembali kepada para advokat atau organisasi advokat itu sendiri, hal ini dimaksudkan agar tetap menegaskan peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab.

Menurut Samual Edward Finer, terdapat

pengertian Pemerintah dan Pemerintahan dalam arti luas dan sempit, yaitu:46

   
   



44  Luhut M. P. Pangaribuan, op. cit., 358-359.

45  Ibid., 361.

46  Samual Edward Finer, Pemerintahan Komparatif, Bandung:

 

  1.       Pemerintah dalam arti sempit, yaitu: perbuatan memerintah yang dilakukan oleh Eksekutif, yaitu Presiden dibantu oleh para Menteri-menterinya dalam rangka mencapai tujuan Negara;
  2.       Pemerintah dalam arti luas, yaitu: Perbuatan memerintah yang dilakukan oleh Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif dalam rangka mencapai tujuan Pemerintahan Negara;

Dalam arti luas, pemerintahan dapat dimaknai sebagai segala urusan yang diakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan, memelihara keamanan dan meningkatkan derajat kehidupan rakyat serta dalam menjamin kepentingan negara itu sendiri. Dalam konteks fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif pengertian pemerintahan mencakup ke semua fungsi tersebut di atas. Dalam arti sempit hanya menyangkut fungsi eksekutif saja.47 Bagir Manan menguraikan bahwa pemerintahan diartikan sebagai keseluruhan lingkungan jabatan dalam suatu organisasi. Dalam organisasi negara, pemerintahan sebagai lingkungan jabatan adalah alat-alat kelengkapan negara seperti jabatan eksekutif, legislatif, yudikatif dan jabatan suprastruktur lainnya.48

Peran pemerintah dalam pembentukan

wadah tunggal tersebut tidaklah bertentangan jika dibenturkan dengan kebebasan dan kemandirian sebagaimana juga yang diinginkan oleh UU Advokat, karena sebagaimana diketahui bahwa kebebasan berserikat (rights to associate) untuk maksud-maksud damai adalah hak yang tergolong non derogable sehingga negara tidak dapat menghalangi orang untuk berserikat, namun negara dengan otoritasnya dapat berpraduga adanya maksud-maksud jahat dari adanya perserikatan.49 Pemerintah,

 

  1. Ghalia Indonesia, 2006, 98.

47 Juanda, “Hubungan Kewenangan Antara DPRD dengan kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Daerah Menurut UUD 1945”, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2004, 75.

 

dalam hal ini Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif dalam pemahaman tersebut harus proaktif mengatasi persoalan bangsa yang sedang terjadi, terlebih permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas. Jika dikaitkan dengan kondisi tentang permasalahan internal yang dialami oleh organisasi advokat yang ada di Indonesia, tentunya akan merugikan tidak hanya bagi Advokat itu sendiri, namun juga bagi masyarakat umum karena tidak bisa mendapatkan kepastian hukum tentang bagai- manakah pengaturan hukum yang sebenarnya berkaitan dengan organisasi advokat.

Dengan masuknya pemerintah untuk menengahi permasalahan yang terjadi dalam UU Advokat maka upaya menciptakan negara hukum dapat diupayakan sejalan dengan tujuan dibentuknya UU Advokat itu sendiri. Konsep negara hukum mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan adanya konsep negara hukum modern (welfare state) di mana negara tidak boleh lagi pasif tetapi juga harus aktif turut serta dalam kegiatan masyarakat, sehingga kesejahteraan bagi masyarakat terjamin.50 Hal ini menunjukkan adanya perubahan paradigma sejauh mana tanggung jawab negara untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakatnya. Dengan masuknya pemerintah dengan melakukan pembentukan wadah tunggal yang memiliki kewenangan aquo, maka dalam hal ini konsep negara hukum lebih maju dan berkembang sesuai dengan keinginan masyarakat. Hal ini sesuai pula dengan pendapat dari Bagir Manan yang menyatakan bahwa negara hukum modern adalah perpaduan antara negara hukum dan negara kesejahteraan, sehingga negara tidak hanya sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat akan tetapi juga sebagai yang bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar besarnya kemakmuran rakyat.51

Memang harus diakui, perhatian terhadap

profesi advokat, termasuk keberlangsungan

 

48  Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,                     

 

Yogyakarta: PSH UII, 2001, 100.

49 Harkristuti Harkrisnowo, dkk, Materi Pokok Hukum dan Hak Asasi Manusia, Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2015, 513.

 

50  Ni’matul Huda, lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta: UII Press, 2007, 56.

51  Jazim Hamidi, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Yogyakarta: Total Media, 2009, 149.

 

organisasi advokat, terus diberikan pemerintah. Pada tanggal 25 Februari 2020, Eksekutif (Pre- siden) melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopol- hukam) Moh. Mahfud MD dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly pernah memfasilitasi upaya rekonsiliasi atau perdamaian di antara 3 kubu organisasi advokat bernama Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Tetapi, upaya rekonsiliasi konkret tersebut hingga saat ini belum diwujudkan karena belum ditindak- lanjuti secara serius oleh Ketua Umum dari masing-masing organisasi advokat. Bahkan, sampai saat ini Eksekutif (Presiden) melalui Menkopolhukam, Moh. Mahfud MD masih konsisten mendukung bersatunya organisasi advokat yang bercerai berai tersebut, dengan mengemukakan 3 (tiga) isu strategis terkait organisasi advokat. Pertama, ada satu lembaga Dewan Kehormatan Profesi Advokat. Kedua, ada satu Kode Etik Advokat Indonesia. Ketiga, reformulasi (revisi, red) UU Advokat.52

Mahfud mengatakan UU Advokat menga-

tur organisasi advokat menginginkan hanya ada satu organisasi advokat atau single bar. Tapi da- lam perjalanannya banyak terbentuk organisasi advokat selain Peradi dan menginginkan sis- tem multi bar. Selain itu, dalam beberapa pu- tusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU Advokat, MK tidak menyebut eksplisit sistem mana yang konstitusional. Kemudian terbitlah Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/ IX/2015 tanggal 25 September 2015 tentang Penyumpahan Advokat (SK KMA 73/2015). Intinya, SK KMA ini memberikan kesempatan seluruh organisasi advokat bisa mengajukan penyumpahan advokat di pengadilan tinggi.53

Dari berbagai Putusan MK terkait pe-

ngujian UU Advokat sehubungan eksistensi organisasi advokat antara lain Putusan Mah- kamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/

   
   



52 Moh. Mahfud MD, “Quo Vadis Advokat Indonesia”, Makalah, Talk Show The Best lawyers Club Indonesia, Bandung, 09 April 2021.

53  Ibid.

 

PUUXII/2014 dan Nomor 36/PUU-XIII/2015,

yang tidak menyatakan secara tegas apakah sistem single bar atau sistem multi bar yang konstitusional, akhirnya masing-masing organi- sasi advokat secara sangat subyektif mengherme- neutika putusan-putasan tersebut, dengan mengklaim bahwa sistem organisasinyalah yang paling konstitusional. Demikian pula halnya, dengan SK KMA 73/2015 yang membuka ruang bagi komunitas advokat membuat orga- nisasi advokat baru secara instan dan ditam- bah seluruh organisasi advokat yang telah ada, berlomba-lomba untuk mengajukan penyumpahan dan pelantikan advokat di pengadilan tinggi. Situasi dan kondisi seperti itu menunjukkan posisi Yudikatif, dalam hal ini MK yang tidak tegas dan Mahkamah Agung yang tidak bijaksana, mengakibatkan semakin memperuncing perpecahan organisasi advokat dan tumbuh suburnya organisasi advokat baru sampai saat ini. Sebenarnya apabila Mahkamah Agung berkemauan untuk mengakhiri konflik organisasi advokat yang sengkarut tersebut terlebih demi kepentingan masyarakat pencari keadilan di negeri ini, maka Mahkamah Agung masih dapat dan harus menganulir keputusannya dengan mencabut SK KMA SK KMA 73/2015 dan Eksekutif dapat “memaksa” menetapkan AD/ART, memilih pengurus dan menetapkan kode etik bagi advokat Indonesia, seperti halnya pengambilalihan penyelesaian konflik di tubuh organisasi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang tak berkesudahan di waktu lalu. Dengan dicabutnya SK KMA SK KMA 73/2015 dan selanjutnya dilakukan pengambilalihan penyelesaian konflik organisasi advokat oleh Eksekutif, maka akan berimplikasi bersatunya seluruh organisasi advokat untuk membentuk wadah tunggal karena adanya kepastian hukum yang kembali kepada bunyi ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan (2) dan Pasal 32 ayat (3) dan (4) UU Advokat, yang secara tegas dan jelas mengatur bahwa sistem organisasi advokat di Indonesia menganut sistem sigle bar, sehingga tidak ada lagi ruang dan dasar hukum bagi komunitas advokat untuk mengikuti sistem multi bar.

 

Jika solusi di atas juga tidak dapat dilakukan, maka perselisihan organisasi advokat dinilai hanya dapat diselesaikan apabila pemerintah (Eksekutif) dan parlemen (Legislatif) merevisi UU Advokat guna mengakomodasi kepentingan para praktisi pembela hukum, terutama kepentingan krusial para pencari keadilan demi tercapainya tujuan pembangunan nasional di bidang hukum.

Beberapa hal sangat penting, yang harus menjadi materi dalam perubahan atau membuat RUU Advokat agar pembentukan wadah tung- gal organisasi advokat (single bar system) se- bagaimana tersebut di atas tercapai, antara lain:

  1. a)       Merumuskan secara jelas dan tegas, definisi organisasi advokat yang menjadi sistem wa- dah tunggal atau single bar system agar tidak dapat ditafsirkan secara berbeda-beda;
  2. b)     Memformulasikan pembentukan organisasi advokat yang menjadi sistem wadah tunggal atau single bar system, yang mempunyai ke- wenangan, yakni: melaksanakan Pendi- dikan Khusus Profesi Advokat atau PKPA, pengujian terhadap calon Advokat, Pengangkatan Advokat, membuat Kode Etik Advokat, membentuk Dewan Kehormatan Advokat, membentuk Komisi Pengawas Advokat, melakukan pengawasan terhadap Advokat, dan memberhentikan Advokat;
  3. c)       Memformulasikan syarat-syarat yang sa- ngat ketat untuk berdirinya suatu orga- nisasi advokat, seperti halnya syarat-syarat mendirikan suatu Partai Politik sesuai Un- dang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, yang salah satu syarat beratnya, yaitu kepengu- rusan paling sedikit 60 persen dari jumlah provinsi, 50 persen dari jumlah kabupaten/ kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25 persen dari jumlah kecamatan pa- da setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan, sehingga diharapkan dan dipastikan nantinya akan berdampak organisasi yang tidak dapat melakukan pe- nyesuaian terhadap ketentuan baru UU Advokat yang berlaku akan bubar dengan sendirinya;

 

  1. d)     Kegiatan merumuskan dan memformulasi- kan pembentukan organisasi advokat yang bersistem single bar ke dalam Rancangan Undang-Undang Advokat harus berdasar- kan landasan yuridis, sosiologis, dan filosfis dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik;54

C.  Komitmen Para Penegak Hukum

Setelah menganalisa dua langkah besar di atas, walaupun masalah revisi UU Advokat nantinya terlalui secara baik dengan adanya peran besar dari Eksekutif dan Legislatif, ter- nyata peneliti masih menemukan rajutan be- nang merah (sebagai langkah besar ketiga) yang harus dan hanya dapat dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan melalui komitmen bersama yang kuat dan tangguh dari seluruh aparat penegak hukum, terutama di kalangan pimpinan tertingginya, yakni Eksekutif (dalam hal ini Kapolri dan Jaksa Agung beserta Yudi- katif (dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi), termasuk Pimpinan Wadah Tunggal Organisasi Advokat (Wadah Tunggal dengan nama yang baru dan Ketua Umum baru yang terpilih nantinya). Para pimpinan tertinggi tersebut hendaknya membuat komitmen bersama berupa kesepakatan tertulis dalam bentuk Peraturan Bersama atau Nota Kesepahaman yang berisi satu pemahaman un- tuk satu tujuan bersama, yaitu menegakkan prinsip-prinsip negara hukum.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa ko-

mitmen hanya dapat teruji dengan tindakan dan selanjutnya melalui komitmen penuh, segala sesuatu mungkin terjadi, termasuk terwujudnya tujuan bersama. Selaku demikian, sebenarnya fakta menunjukkan telah pernah dilakukan ke- sepakatan-kesepakatan di antara aparat pene- gak hukum sebagai komitmen terkait upaya penegakan hukum yang terkoordinasi dalam arti positip, antara lain: Nota Kesepahaman Antara Komisis Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan

   
   



54 Lihat Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

 

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: SPJ-97/01-55/03/2017,  Nomor:  KEP-087/A/

JA/03/2017, Nomor: B/27/III/2017 tentang Kerjasama dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tanggal 29 Maret 2017 serta Perjanjian Kerjasama Antara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor: 402/DJU/HM.01.1/4/2020, Nomor: KEP-17/E/Ejp/04/2020, Nomor: PAS- 08.HH.05.05 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference.

Bahkan sebelum PERADI sebagai wadah tunggal lahir, tepatnya pada tanggal 16 April 2004 pernah dilakukan kesepakatan yang ditandatangani oleh Otto Hasibuan selaku Koordinator Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI), Kapolri Dai Bachtiar, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, Jaksa Agung M.A Rachman, dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrahman Ruki. Apalagi kesepakatan para pimpinan lembaga penegak hukum tadi disaksikan pula petinggi lembaga lain yang punya kepentingan dengan penegakan hukum semisal Ketua Komisi Ombudsman Nasional (KON) Antonius Sujata, Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) J.E. Sahetapy, Menko Polkam Hari Sabarno, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie.55

Pada saat itu, Para pimpinan lembaga

penegak hukum membuat kesepakatan bersama atas delapan hal. Kedelapan hal itu diyakini sebagai langkah strategis membenahi sistem dan membarui hukum nasional. Pertama, upaya membenahi sistem manajemen penanganan perkara yang menjamin akses publik. Kedua, mereka bersepakat mengembangkan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel. Ketiga, menyederhanakan prosedur penegakan hukum. Keempat, mengembangkan sistem manajemen sumber daya manusia yang transparan dan mendorong peningkatan profesionalisme. Kelima, pengembangan sistem

   
   



55  Hukumonline,  “Menagih  Janji  Penegakan  Hukum:

 

manajemen anggaran/keuangan yang transparan dan akuntabel. Keenam, meningkatkan ko- ordinasi dan kerjasama yang menjamin efek- tivitas penegakan hukum. Ketujuh, penguatan kelembagaan. Terakhir, kedelapan, pembaruan materi hukum.56

Dalam konteks situasi dan kondisi saat inilah, langkah strategis yang ketujuh, yaitu penguatan kelembagaan, yang di dalamnya termasuk lembaga organisasi advokat yang terpecah harus disatukan untuk dikembalikan ke marwahnya dalam bentuk single bar sesuai dengan amanat UU Advokat. Jadi, kesepakatan- kesepakatan yang pernah dibuat harus diperkuat dan ditindaklanjuti secara serius terutama untuk tujuan penguatan kelembagaan advokat. Jika komitmen penguatan kelembagaan advokat tidak ditegaskan kembali dan kondisi perpecahan organisasi advokat dibiarkan terus, maka sudah dipastikan organisasi advokat akan menuju keruntuhannya, sekaligus advokat akan kehilangan jiwanya.

Kehilangan keagungan pada jiwa bagi

profesi advokat sungguh pantas dicemaskan, sebagaimana yang dideskripsikan secara lugas oleh Anthony                             T. Kronman saat mencipta bukunya The lost lawyer: Failing Ideals of the legal Profession. Kronman menyatakan bahwa pesan yang ingin dia sampaikan adalah that the profession now stands in danger of losing its soul. Jangan sampai para advokat Indonesia yang mengaku officium nobile kehilangan jiwa mulianya,57 yang berarti mustahil untuk me- negakkan prinsip-prinsip negara hukum di negara Indonesia tercinta ini. But never ending process untuk menata, membangun, membina dan menghasilkan hukum nasional yang bermo- ralitas demi terwujudnya kepastian hukum yang berkeadilan.

VI.   Penutup

  1. Simpulan

Secara filosofis, dengan merujuk kepada nilai luhur Pancasila yang terjabarkan dalam UUD Tahun 1945  dan dijelaskan secara

 

Advokat”,         https://m.hukumonline.com/berita/baca/                       

 

hol19430/menagih-janji-penegakan-hukum-advokat/,   diakses tanggal 5 Juni 2021.

 

56  Ibid.

57  Ibid.

 

holistik dan presisi dengan teori negara hukum, teori pemerintahan dan teori organisasi serta mengkristal pada ketentuan-ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat, dengan jelas dan tegas menunjukkan makna yang tersurat   bahwa hanya ada satu wadah tunggal organisasi            profesi advokat yang diamanahkan untuk dibentuk dan telah dideklarasikan   pendiriannya         dengan           nama PERADI, yang memiliki kewenangan pembi- naan dan pengawasan terhadap profesi advokat demi      terjaganya standar  kualitas   advokat sebagai profesi yang terhormat (officium nobile). Untuk bisa mengeksekusi standar keahlian itu diperlukan sistem single bar yang diaplikasikan secara konsisten.                      Dengan adanya wadah tunggal profesi advokat, maka rekrutmen calon advokat dapat dilaksanakan secara independen, transparan, akuntabel dan profesional dengan menerapkan faktor kognitif dan psikomotorik (kecerdasan     intelektual dan    penguasaan hukum) dan faktor efektif (integritas dan komitmen yang kuat terhadap penegakan hukum dan keadilan) secara seimbang, terpadu dan berkesinambungan demi tegaknya prinsip- prinsip negara hukum (rule of law) di Indonesia. Untuk mengembalikan sistem single bar yang telah teruji dapat menghasilkan advokat- advokat yang berkualitas, yang sekaligus berarti menjamin tegaknya prinsip-prinsip rule of law di negara Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, maka perlu segera dilakukan tiga langkah besar, yaitu: Pertama, segenap pemimpin organisasi advokat yang ada saat ini harus berjiwa besar dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara untuk melepaskan ego masing-masing dan bersatu dalam organisasi profesi advokat tunggal, kuat dan berintegritas. Jadikanlah profesi advokat ini sebagai the guardian of the constitution demi pencapaian negara hukum (rule of law) yang kuat. Kedua, Pemerintah dalam arti luas (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) harus berperan untuk menengahi permasalahan perpecahan organisasi advokat, hal itu selaras dengan     menciptakan negara hukum   yang diupayakan sejalan dengan tujuan dibentuknya UU  Advokat          itu      sendiri. Konsep  negara

 

hukum mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan adanya konsep negara hukum modern (welfare state) dimana negara tidak boleh lagi pasif tetapi juga harus aktif turut serta dalam kegiatan masyarakat, sehingga kesejahteraan bagi masyarakat terjamin, sehingga negara tidak hanya sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat akan tetapi juga sebagai yang bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar besarnya kemakmuran rakyat, termasuk keadilan, kesejahteraan, kemakmuran di bidang hukum. Ketiga, Para Pimpinan Tertinggi Aparat Penegak Hukum, yakni Eksekutif (dalam hal ini Kapolri dan Jaksa Agung beserta Yudikatif (dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi), termasuk Pimpinan Wadah Tunggal Organisasi Advokat (Wadah Tunggal dengan nama yang baru dan Ketua Umum baru yang terpilih nantinya). Para pimpinan tertinggi tersebut hendaknya mem- buat komitmen bersama berupa kesepakatan tertulis dalam bentuk peraturan bersama atau nota kesepahaman yang berisi satu pemahaman untuk satu tujuan, yaitu menegakkan prinsip- prinsip negara hukum termasuk penguatan kelembagaan advokat, sehingga masalah per- pecahan pada wadah tunggal organisasi advokat Indonesia yang diperuncing oleh sikap dan kebijakan aparat penegak hukum lain tidak ter- ulang lagi di masa yang akan datang.

B. Saran

Seluruh komponen aparat penegak hukum harus segera mengeksekusi tiga langkah besar sebagaimana tersebut di atas demi tegaknya prinsip-prinsip Negara Hukum Pancasila, yang tentunya harus dimulai dengan mengakurasikan segala data yang terkait organisasi advokat dan memantapkan koordinasi yang holistik di antara para aparat penegak hukum. Tim kajian dan evaluasi yang tersistem dan sistematik harus segera dibentuk untuk melakukan kajian-kajian dan evaluasi secara berkelanjutan terhadap produk peraturan perundang-undangan terkait advokat dan organisasi advokat, dengan kon- sentrasi tujuan agar penyatuan organisasi

 

advokat semakin kokoh, sehingga upaya-upaya yang mencoba memporak-porandakan orga- nisasi advokat dapat sedini mungkin dicegah dan riak-riak perpecahan organisasi advokat yang dapat menggangu profesionalitas advokat dalam membela kepentingan para pencari keadilan dapat diatasi sebijaksana mungkin.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Abidin, As’ad Syamsul. “Demi Tegaknya Rule Of Law, “Single Bar Is A Must!”. https:// aktual.com/demi-tegaknya-rule-of-law- single-bar-is-a-must/, diakses tanggal 25 April 2022.

Alkostar, Artidjo. Peran dan Tantangan Advokat dalam Era Globalisasi. Yogyakarta:       FH UII, 2010.

Aryanto, Bambang. “Tinjauan Yuridis Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan”. Perspektif Hukum, Vol. 15, No. 2 (2015).

Asshiddiqie, Jimly. “Mengatur Kebebasan Berserikat Dalam Undang-Undang”. http:// www.jimlyschool.com/read/analisis/274/ mengaturkebebasan-berserikat- dalam- undang-undang/, diakses tanggal 12 Oktober 2015.

Assiddiqie, Jimly. Konstitusi Sebagai landasan Indonesia Baru Yang Demokratis (Pokok- Pokok Pikiran tentang Perimbangan Kekuasaan Eksekutif dan legislatif Dalam Rangka Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1999.

 . Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Benuf, Kornelius dan Muhamad Azhar, “Metodologi Peneltian Hukum sebagai Instrumen Mengurangi Permasalahan Hukum Kontemporer”. Jurnal Gema Keadilan, Vol. 7, Edisi 1 (Juni 2020).

 

Dicey, Albert V. Introduction to the Study of the law of Consititution. 8th Revised Edition, Liberty Fund Inc, 1982.

Finer, Samual Edward. Pemerintahan Komparatif.

Bandung: PT. Ghalia Indonesia, 2006.

Ghozali, Imam dkk. “Transformasi Organisasi Advokat Indonesia dari Single Bar Menjadi Multi Bar (Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PPU-VII/2009 dan Surat Ketua Mahkamah Agung No. 73/KMA/ HK.01/IX/2015)”. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 1 (Juni 2018).

Hairi, Prianter Jaya Hairi. “Kebijakan Kriminalisasi Perbuatan Curang oleh Advokat dalam RUU KUHP”. Negara Hukum, Vol. 11, No. 2 (November 2020).

Hamidi, Jazim. Teori dan Politik Hukum Tata Negara. Yogyakarta: Total Media, 2009.

Harkrisnowo, Harkristuti dkk. Materi Pokok Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka, 2015.

Hasibuan, Otto. “Quo Vadis Advokat Indonesia”. Makalah, Talk Show The Best lawyers Club Indonesia, Bandung, 2021.

Huda, Ni’matul. lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta: UII Press, 2007.

Hukumonline. “Menagih Janji Penegakan Hukum: Advokat”. https://m.hukumonline. com/berita/baca/hol19430/menagih-janji- penegakan-hukum-advokat/, diakses tanggal 5 Juni 2021

Hutagalung, Ronggur. “Kedudukan Advokat dalam Penyelenggaraan Peradilan dan Masalah Pengawasan Advokat dalam Rangka Mencapai Tujuan Hukum Di Indonesia”. Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, 2016.

Juanda. “Hubungan Kewenangan Antara DPRD dengan kepala Daerah dalam Sistem Pemerintahan Daerah Menurut UUD 1945”. Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, 2004.

 

Junianto, Johan Dwi Junia. “Obstruction of Justice dalam Pasal 21 Undang-Undang No.

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Media Iuris, Vol. 2, No. 3 (Oktober 2019).

Mahfud MD, Moh. “Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Makalah, Dialog dengan Asosiasi Dosen Pengajar HTN/HAN se-Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Dr. Soetomo Surabaya, Surabaya, 2008.

 . “Quo Vadis Advokat Indonesia”. Makalah, Talk Show The Best Lawyers Club Indonesia, Bandung, 2021.

Manan, Bagir. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: PSH UII, 2001.

Muhtamar, Syafruddin. “Kegagalan Sistem Hukum Indonesia (Kajian Atas Keterpurukan Substansial dan Pragmatis Hukum Nasional)”. Prosiding SISITI, Vol. IV, No. 1 (Februari 2015).

Oemar, Erwin Natoesmai. “Kolom: 70 Tahun Todung Mulya lubis”. https://news.detik. com/kolom/d-4611267/70-tahun-todung- mulya-lubis, diakses tanggal 05 Juni 2021.

Pangaribuan, Luhut M. P. Pengadilan, Hakim, dan Advokat, Catatan Hukum luhut M.

  1. Pangaribuan. Jakarta: Pustaka Kemang, 2016.

Pinsler, Jeffrey. Ethics and Professional Respon- sibility, A Code For Advocate and Solicitor. Singapore: Academy Publising, 2007.

Prawiranegara, Nur Setia Alam. “Refleksi Akhir Tahun 2020, Quo Vadis Advokat Indonesia?”.                           https://akuratnews.com/ refleksi-akhir-tahun-2020- quo-vadis- advokat-indonesia/, diakses tanggal 18 Maret 2021.

Rubaie, H. Ach. Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi: Perspektif Filosofis, Teoritis, dan Yuridis. Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2017.

Samosir, Samuel Saut Martua. “Organisasi Advokat dan Urgensi Peran Pemerintah

 

dalam Profesi Advokat”. Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 3 (2017).

Septiana, Dian. “Keluar dari Peradi, Hotman Paris Gabung dengan Organisasi Advokat Lain”. https://www.kompas.tv/ article/280395/keluar-dari-peradi-hotman- paris-gabung-dengan-organisasi-advokat- lain?page=all, diakses tanggal 22 April 2022.

Setiawan, Arif dkk. “Perbandingan Pengaturan Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Advokat (PPA) di Indonesia dan Amerika Serikat”. Arena Hukum, Vol. 10, No. 1 (2017).

Siahaan, Maruarar. ”Kebebasan Berserikat dan Berkumpul Secara Damai Serta Im- plikasinya”. http://www.leimena.org/en/ page/v/532/kebebasan-berserikat-dan- berkumpul-secara-damai-serta-implikasi- nya, diakses tanggal 13 Oktober 2015.

Simorangkir, J.C.T. Hukum dan Konstitusi Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1983.

Siregar, Raja Adil. “Tinjauan Yuridis Terhadap Kebebasan Berserikat, Berkumpul Dan Me- ngeluarkan Pendapat Berdasarkan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan”. JOM Fakultas Hukum, Vol. 2, No. 2 (2015).

Soemantri, Sri. Perlindungan Hukum Melalui Perlindungan Hak Asasi. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, 1992.

Sudarmono. “Makna Wadah Tunggal Organisasi Profesi Advokat Ditinjau Dari Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat”. Jurnal Esensi Hukum, Vol. 2, No. 1 (Juni 2020).

Sulastri, Lusia dkk. Merajut Sistem Keorganisasian Advokat di Indonesia. Ponorogo: Gracias Logis Kreatif, 2021.

Suteki dan Galang Taufani. Metode Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik). Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2018.

Widodo, Muhammad Fajar Sidiq dkk, “Kedudukan Organisasi Advokat sebagai

 

Wadah Tunggal Profesi Pasca Putusan Mah- kamah Konstitusi”. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 3, No. 2 (2018).

Winayanti, Nia Kania. Dasar Hukum Pendirian dan Pembubaran ORMAS (Organisasi Kema- syarakatan). Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011.

Yahman dkk. Peran Advokat dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Prenadamedia Group, 2019.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Telephone